UAS PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2021-2022

6. Kenali asalku: Mahasiswa mempresentasikan secara kreatif atau berbagi tentang kebudayaan, adat istiadat, upacara daerah, serta cerita-cerita toleransi antar suku, ras, agama dan kepercayaan di daerahnya, dll. Informasi ini berasal dari pengalaman masing-masing ataupun pengetahuan yang diperoleh mahasiswa dari daerahnya berasal.

Link Presentasi : https://youtu.be/BZXWt2SxtMI


Sejarah Kebudayaan Cianjur

  • Sejarah Cianjur

    Pada jaman penjajahan daerah cianjur merupakan daerah yang paling di incar bagi para penjajah dan terdapat kawasan bersejarah bagi warga cianjur. Sejak tahun 1614, daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultana Mataram. Sekitar tanggal 2 juli 1677 disebutkan, Raden Wira Tanu putra R. A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag. Upaya Wira Tanu untuk mempertahankan daerah ini, erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I. Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 2 juli 1677. Kejadian itu memberi arti bahwa setelah itu Mataram berlepas diri dari wilayah kekuasaannya.Informasi tersebut sampai di Cianjur sepuluh hari kemudian, yaitu tanggal 12 juli 1677. Atas dasar itulah maka ditetapkan bahwa hari jadi Cianjur jatuh pada 12 juli 1677 sebagaimana yang tertuang dalam perda No. 27 tahun 1982, Lembaran daerah No. 4 tahun 1982 seri D tanggal 17 juli 1982 tentang penentuan Hari Jadi Cianjur. R. A. Wira Tanu I ditetapkan sebagai Bupati pertama yang mengayomi tatar Cianjur antara tahun 1677-1691 Pada pertengahan abad ke-17 ada pertindahan rakyat dari Sagara Herang seiring dengan masuknya Raden Djajasansana putra R. A. Wangsa Goparana dari Talaga yang merupakan keturunan Suana Talaga yang masuk Islam. Sementara daerah Talaga pada waktu itu masih kuat pengaruh Hindu.Maka beliau dari Sagara Herang mulai menyebarkan Islam ke daerah sekitarnya. Sementara Cikundul yang pada mulanya adalah sub nagari berubah menjadi Ibu Nagari pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 daerah tersebut dinamakan Cianjur (Tsitsanjoer, Tjiandjoer).


Tempat yang bersejarah di cianjur antara lain :

1.Masjid Agung

    Masjid Agung Cianjur ini terletak di pusat Kota Cianjur yang dibangun pertama kali pada tahun 1810. Sayangnya penduduk yang merintis pembangunan Mesjid ini tidak tercatat dalam sejarah sebagaimana sejarah Mesjid-Mesjid Agung di daerah lainnya. Mesjid ini dibangun diatas tanah wakaf milik Ny. Raden Bodedar binti Kangjeng Dalem Sabirudin, yang merupakan Bupati Cianjur yang ke-4.Luas Mesjid ini pada mulanya 400 m. Lalu berkembang menjadi 2500 m. Serta mengalami beberapa kali perbaikan. Yang paling intensif adalah sejak tahun 1997 sampai tahun 2000 yang menelan biaya kurang lebih Rp. 10 milyar. Desan modern dan klasik menjadi ciri khas mesjid ini yang dapat menampung sekitar 4000 jemaah. Disinal biasanya salah satu tradisi masyarakat Cianjur yaitu Ngaos dilaksanakan. Terutama ketika peringatan hari-hari besar Islam seperti Ramadhan, Nuzulul Quran, Isra Miraj dll. Mesjid ini akan ramai oleh gelombang lautan manusia yang dengan antusias mendatangi mesjid.

2.Situs Gunung Padang

    Situs Gunung Padang yang terletak di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur ini merupakan situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Luasnya sekitar 900 m2 yang meliputi bangunan purbakala serta area situs itu sendiri kurang lebih 3 hektar. Keberadaan situs ini pertama kali muncul atas laporan Rapporten van de Oudheid-kundingen Diest (ROD) tahun 1914. Yang selanjutnya dilaporkan oleh N. J Krom pada tahun 1949. Pada tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian benda cagar alam budaya yaitu pemilik kebudayaan setempat disusul oleh Ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap situs Gunung Padang mulai dilakukan dalam segi arkeologis, historis, geologis dan lain lain.Bentuk bangunan ini mencerminkan tradisi budaya megalitikum. Dimana semua batu-batu yang menjadi pondasi dari bangunan itu adalah batu besar yang umumnya berbentuk balok ataupun persegi panjang yang merupakan batu vulkanik masif yang memang banyak terdapat di Cianjur. Bangunannya terdiri dari lima teras dengan ukuran berbeda-beda. Batu-batu itu sama sekali belum mengalami tersentuh manusia dalam arti belum dibentuk / dipahat oleh manusia.

3.Istana Presiden Cipanas

    Istana Presiden cipanas dibangun pada tahun 1740 oleh Van Heuts di atas tanah seluas 25Ha. Istana ini terletak dibawah kaki Gunung Gede.Kompleks istana ini terdiri atas gedung induk dan tujuh buah paviliun, dilengkapi dengan sarana olahraga. Luas gedung merupakan bangunan panggung seluas 950 m2.Setiap ruangan terisi mebel dan ukiran dari jepara dan koleksi lukisan-lukisan karya pelukis terkenal, seperti Basuki Abdullah, Sudjojono, dan Lee Man Kong. Beberapa bangunan diberi nama tokoh pewayangan. Beberapa paviliun baru selesai pada 1916 dan yang terbaru adalah tahun 1984. Di bagian belakang istana terdapat kolam air mancur bergaris tengah 27 m.d.

    Pada jaman dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur saat ini, Bapak Irvan Rivano Muchtar, berinisiatif menambahkan 4 pilar budaya yang menurut beliau relevan dengan keadaan masyarakat Cianjur sehingga "7 pilar budaya" menjadi sebuah tagline yang mewakili masyarakat Cianjur. 7 pilar budaya ini merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Cianjur karena mengandung semua aspek kehidupan, meliputi olah rasa, olah jiwa, juga olahraga.

Cianjurpun mempunyai 7 pilar budaya yaitu :

1. Maos

Maos atau mengaji merupakan budaya pertama yang menjadi prinsip masyarakat Cianjur. Agama dipercaya merupakan fondasi yang sangat penting untuk membangun masyarakat Cianjur yang sejak dahulu dikenal sebagai Kota Santri.

2. Mamaos

Mamaos atau tembang cianjuran merupakan kesenian menyanyi seperti Sinden di Jawa. Lagu yang dinyanyikan merupakan tembang khas yang hanya ada di Cianjur dan biasa diiringi oleh kecapi suling. Dahulu kala, mamaos ini merupakan salah satu media komunikasi jika seseorang ingin bercerita melalui syair atau lagu.

3. Maenpo

Maenpo atau pencak silat merupakan olahraga bela diri asli Cianjur lebih tepatnya Cikalong. Maenpo menjadi komponen penting bagi masyarakat Cianjur yang harus dilestarikan sampai kapanpun.

4. Tatanen

Tatanen atau bercocok tanam ini dinilai sangat relevan dengan masyarakat Cianjur yang terkenal dengan beras Pandanwangi. Tatanen menjadi suatu ciri khas masyarakat Cianjur karena mayoritas masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani terutama padi untuk diolah menjadi beras Pandanwangi.

5. Tanginas

Tanginas dalam bahasa Indonesia bisa diartikan gesit. Artinya, masyarakat Cianjur selalu gesit dalam segala hal. Misalnya saja dalam hal bangun tidur, masyarakat Cianjur terbiasa bangun pagi untuk beribadah dan mencari rezeki karena percaya bahwa orang yang bermalas-malasan di pagi hari rezekinya akan "dipatok ayam".

6. Someah

Someah atau ramah berarti masyarakat Cianjur yang selalu bersikap ramah. Hal ini juga tersurat dalam salah satu tembang Cianjuran yang mengandung lirik "Someah ka semah" berarti ramah terhadap tamu.

7. Sauyunan

Sauyunan atau rukun berarti masyarakat Cianjur dalam setiap kegiatannya senantiasa hidup rukun dan damai. Karena tanpa sebuah kerukunan, maka kehidupan bermasyarakat akan kacau dan tidak beraturan. 


Adat istiadat di daerah cianjur yaitu :

a. Ngaos

    NGAOS adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 di mana wilayah Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai sehingga mendapat julukan Kota Santri. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai.

b. Tradisi Surian

    Tradisi ini merupakan adat istiadat yang mana sepasang calon mempelai diharuskan membawa suri. Benda ini berupa alat tenun tadisional untuk membuat kain yang bentuknya yang kecil. Suri digunakan sebagai simbol saksi leluhur dan menjadi syarat perkawinan kedua mempelai. Tradisi itu berlaku pada siapa saja yang mempunyai calon pasangan warga keturunan Kampung Pameungpeuk. Jika tidak memiliki suri, tokoh masyarakat setempat akan meminjamkannya sampai selesai prosesi syukuran pernikahan.

 c. Pintu Rumah

    Selain tradisi suri, masyarakat Kampung Pameungpeuk mempunyai adat istiadat lain. Yaitu mendirikan bangunan dengan pintu rumah menghadap arah barat atau timur. Hal itu, konon katanya, dari petuah orang tua terdahulu. dimana pada umumnya secara turun temurun harus dipatuhi warga kampung Pameungpeuk. Jika berani melanggarnya, cerita Ayi, akan kena apes atau sial. Misal, bila berumah tangga tidak akan menemui ketentraman dan kebahagian dalam hidup. “Begitu juga dengan larangan terhadap arah pintu rumah. Jika dilanggarnya, dipercaya akan mendapat kesulitan dalam mencari nafkah, rentan sakit-sakitan dan halangan lainnya,” tuturnya. Tradisi itu, menurut sejumlah warga disana, berkaitan dengan leluhur Ki Gede dan Mbah Jongor yang disegani dan dihormati sebagai panutan untuk warga Kampung Pameungpeuk. Konon, Eyang Natadiwangsa pada saat mudanya sempat berebut suri dengan saudaranya dari Kampung Munjul Desa Gasol. Kemudian Eyang Natadiwangsa, pulang kampung dengan membawa hasil dan menjadi juragan kaya raya, disegani dan dihormati. Dia pun akhirnya dikenallah dengan sebutan Ki Gede. Legenda lokal perjalanan Ki Gede menuju keberhasilan oleh keturunannya menjadi sebuah panutan. Kebiasaan membawa Suri dalam prosesi pernikahan, menjadi suah adat tradisi hingga kini masih dipertahankan. Sebagai tanda hormat kepada leluhur, maka warga setempat yang berada di antara maqom Ki Gede di utara dan maqom Mbah Jongor di selatan kampung Pameungpeuk. pintu rumah warga menghadap ke timur dan barat, lantaran tak mau membelakangi leluhurnya.


Upacara daerah di cianjur antara lain:

A. Upacara Nyalawena

   Tradisi Nyalawena yang dilakukan daerah Sindang Barang Kabupaten Cianjur, tepatnya di Pantai APRA, masyarakat sekitar pesisir tersebut memiliki tradisi mencari impun (ikan kecil) atau yang disebut Nyalawena. Tradisi Nyalawena sarat dengan nuansa tradisional dan tentunya memiliki banyak makna bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat pendukungnya, masyarakat nelayan di Sindangbarang. Hal inilah yang mendasari dilakukannya kajian terhadap tradisi tersebut dalam hubungannya dengan makna Tradisi Nyalawena bagi masyarakat nelayan di Pantai APRA. Oleh karena itu, BPNB Jawa Barat pada caturwulan pertama tahun anggaran 2016 telah melakukan kajian untuk mengetahui makna apa yang terkandung pada tradisi tersebut.

B. Upaca Kuda Kosong

     Kelahiran Kuda Kosong turut menandai berdirinya wilayah Cianjur, Jawa Barat. Saat itu pemimpin tertinggi di Cianjur Raden Kanjeng Aria Wiratanudatar mendapat panggilan dari Raja Mataram untuk memberikan upeti, sebagai tanda berdirinya wilayah baru di tanah Sunda.Parade Kuda Kosong ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Seperti hal nya sekarang ini, Kuda Kosong selalu digelar pada setiap uacara kenegaraan cianjur. Tujuannya sendiri yaitu untuk mengenang sejarah perjuangan pada Bupati Cianjur tempo dulu. Saat itu Cianjur dijabat oleh Bupati RA Wiratanu II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil pertanian masyarakatnya kepada Sunan Amangkurat II, Sunan Mataram (sekarang solo) di Jawa Tengah. Akhirnya sebagai pengabdiannya kepada mataram, RA Wiratanu II menugaskan Dalem Aria Kidul untuk berangkat ke mataram membawa sebuah surat yang ditunjukan kepada Sunan Amangkurat II da n sebuah bingkisan yang berisi tiga butir paddi dan tiga butir merica. Tiga butir padi mengandung arti bahwa Kabupaten Cianjur yang saat itu baru berdiri dan belum bisa mensejahterakan rakyatnya, sedangkan tiga butir merica mengandung arti meskipun masih miskin, namun Cianjur siap berperang untuk mempertahankan harga dirinya jika di hina. Ketika Sunan Amankurat II menerima bingkisan unik tersebut, ia memahami kondisi Cianjur yang baru berdiri dan masih belum mandiri perekonomiannya. Namun karena kesungguhan Cianjur mengabdi pada mataram, 

    Sunan Amangkurat II memberikan beberapa hadiah kepada Bupati Cianjur, yaitu seekor kuda jantan berwarna hitam, pohon Saparantu, dan sebilah keris bertahtakan intan berlian yang diambil langsung dari pinggangnya. Dalem Aria Kidul sangat gembira atas hadiah tersebut, baginya itu sebagai anugrah bagi Bupati Cianjur. Oleh karena itu sepanjang perjalanan menuju Cianjur, kuda tersebut dibiarkan kosong tidak ditunggangi siapapun, karena ia beranggapan bahwa kuda tersebut diperuntukan Bupati Cianjur, jadi yang berhak menungganginya hanya RA Wiratanu II, Bupati Cianjur. Benar saja, sesampainya di Cianjur Kuda Hitam tersebut langsung di naiki oleh RA Wiratahu II dan langsung di arak dan di iringi oleh adik-adiknya serta rakyatnya mengelilingi Kota Cianjur. Konon sepanjang masa pemerintahannya RA Wiratanu II selalu menungangi kuda tersebut saat menjamu tamu serta berperang melawan belanda.


Cerita toleransi agama di kampung palalangon Gunung Halu Cianjur

    Cianjur merupakan salah satu daerah santri di Jawa Barat Di balik nuansa Islamnya yang kuat, daerah yang terkenal dengan hasil pertaniannya ini ternyata juga memiliki perkampungan Kristiani yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Kampung tersebut adalah Kampung Kampung Palalangon yang berada di wilayah Gunung Halu dan mulai ditempati oleh masyarakat Kristen Pribumi pada masa Bupati Cianjur era Raden Prawiradiredja (1862-1910). Setelah mendapat saran dari bupati, B.M. Alkema beserta ketujuh pengikutnya lantas menyusuri kawasan Sungai Cisokan hingga tembus ke aliran sungai Citarum. Setelah itu mereka menemukan sebuah bukit yang cukup landai dan mulai mendirikan patok-patok sebagai kawasan tempat tinggal.Untuk menandai lokasi tersebut, B.M. Alkema pun berikrar di depan para pengikutnya untuk membangun sebuah perkampungan Kristiani di lokasi tersebut. Para pengikutnya pun mulai menjemput keluarganya masing-masing dan membangun komunitas di lokasi tersebut. Setelah kurang lebih satu tahun fokus pada pemukiman, mereka pun mulai membangun gereja pertama yang mereka sebut sebagai gereja darurat. Gereja ini dibangun untuk kebutuhan kebaktian. pada 17 Agustus 1902, gereja yang dibuat dari daun ‘eurih’ atau ilalang tersebut selesai dibuat dan melangsungkan kebaktiannya untuk pertama kali. Saat itu ketujuh pengikut setia B.M. Alkema memberi nama Kampung Palalangon yang berarti Menara.

    Dengan adanya toleransi ke dua agama tersebut yaitu kristen dan islam di kawasan palalangon Saat ini, kawasan tersebut juga telah banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam. Meski berbeda keyakinan, mereka hidup berdampingan secara damai dan terus menjalankan prinsip saling bertoleransi dan tetap mengasihi. Bahkan saat ada salah satu warga yang jatuh sakit atau meninggal, mereka akan saling menolong dengan memberikan bantuan untuk meringankan beban. Jika ada saudara Muslim meninggal, kami juga ikut datang berbela sungkawa dan pastinya terlibat dalam kegiatan teknis seperti penggalian makam. Begitu juga sebaliknya, tanpa diminta mereka pun akan datang jika kami tengah mengalami hal yang sama, kata Yudi Setiawan, selaku koster (pembantu) di Gereja Kristen Pasundan (GKP), Kampung Palalangon. Bahkan pada saat Natal pun gereja sedang membunyikan loncengnya pada siang hari tiba tiba memberhentikan suara lonceng tersebut supaya terdengar suara adzan yang berkumandang. Kata pengurus gerejanya yudi setiawan Sengaja genta gereja kami hentikan, supaya-saudara muslim kami bisa fokus menjalankan shalat jumat.

Link powerpoint:

https://docs.google.com/presentation/d/1FZ7gU6DqdJg5SoFv4GiujccMojAsq0oF/edit?usp=sharing&ouid=103541869114627131666&rtpof=true&sd=true


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Identitas Nasional

Hak Asasi Manusia (HAM)

Pancasila Dasar Nilai Pengembangan Ilmu